PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum :
Enumerasi
Mikrobia Pada Makanan (APC, Uji Coliform,
dan Uji Salmonella)
B. Tujuan Praktikum :
a.
Melakukan enumerasi
mikrobia pada bahan makanan dengan menggunakan metode dilution dan plating (Aerobic Plate Count)
b.
Melakukan
deteksi dan enumerasi Coliform pada
makanan dengan metode media cair
c.
Melakukan
deteksi dan enumerasi Salmonella pada
bahan makanan dengan metode streak plate
d.
Melakukan
analisa kualitas mikrobiologi pada bahan pangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Buckle dkk.
(2010), mutu mikrobiologis dari suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan
jenis mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan. Mutu mikrobiologis ini
akan menentukan ketahanan simpan dari produksi tersebut ditinjau dari kerusakan
oleh mikroorganisme, dan keamanan produk dari mikroorganisme ditentukan oleh
jumlah spesies patogenik yang terdapat. Jadi, kemampuan untuk mengukur secara
tepat jumlah mikroorganisme yang umum terdapat dalam bahan pangan dan jumlah
organisme spesifik yang berada dalam produk pangan merupakan dasar yang penting
bagi mikrobiologi pangan. Hal tersebut meliputi dua pertimbangan utama, yaitu:
a. Pengambilan contoh yang tepat dari produk yang
akan diuji
b. Enumerasi atau perhitungan mikroorganisme yang
terdapat dalam contoh
Jenis populasi mikrobia dalam tanah, air, bahan
makanan, susu dan lain-lainnya berbeda-beda. Hal ini tergantung pada susunan
bahan tersebut. Untuk menentukan
atau perhitungan jumlah mikrobia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu langsung
dan tidak langsung (Jutono, dkk., 1980).
Perhitungan mikrobia
dengan cara langsung dilakukan untuk menghitung jumlah sel yang hidup dan yang
mati. Sedangkan perhitungan dengan cara tidak langsung dilakukan untuk menentukan jumlah mikrobia secara keseluruhan baik yang hidup
maupun yang mati atau hanya untuk menentukan jumlah mikrobia yang hidup saja (Jutono, dkk., 1980).
Untuk mikrobia yang hidup dapat dilakukan setelah suspensi bahan atau biakan
mikrobia diencerkan beberapa kali dan ditumbuhkan dalam medium dengan cara
tertentu, tergantung macamnya bahan dan sifat mikrobianya (Sutedjo dkk, 1991).
1.
Perhitungan
jumlah mikrobia secara langsung
Untuk
menentukan jumlah mikrobia secara keseluruhan, baik yang mati maupun yang hidup.
Ada beberapa cara perhitungan, yaitu:
a.
Menggunakan Counting Chamber
Perhitungan
ini dapat menggunakan haemacytometer. Dasar perhitungan adalah dengan
menempatkan 1 tetes suspensi bahan atau biakaan mikrobia pada alat tersebut,
ditutupi dengan gelas penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Dengan
menentukan jumlah sel rata-rata tiap petak yang telah diketahui volumenya dapat
pula ditentukan jumlah sel mikrobia tiap cc (Jutono, dkk., 1980).
b.
Menggunakan
cara pengecatan dan pengamatan mikroskopik
Preparat
mikroskopik dibuat pada gelas benda. Suspensi bahan atau biakan mikrobia yang
telah diketahui volumenya diratakan diatas gelas benda pada suatu luas
tertentu, setelah itu preparat dicat dan dihitung jumlah rata-rata sel tiap
petak pada pemandangan mikroskop. Luas bidang pemandangan mikroskop dihitung
dengan mengukur garis tengahnya. Jadi jumlah mikrobia yang terdapat pada gelas
benda seluruhnya dapat dihitung (Jutono, dkk., 1980).
c.
Menggunakan
filter membran (miliphore filter)
Suspensi
bahan atau biakan mikrobia disaring, kemudian disaring lagi dengan filter
membran yang telah disterilkan terlebih dahulu. Dengan menghitung jumlah sel
rata-rata tiap kesatuan luas pada filter membran dapat dihitung jumlah sel dari
volume yang disaring (Jutono, dkk., 1980).
2.
Perhitungan
jumlah mikrobia secara tidak langsung
Untuk
menentukan jumlah mikrobia secara keseluruhan baik yang hidup maupun yang mati
atau hanya untuk menentukan jumlah mikrobia yang hidup saja. Untuk mikrobia
yang hidup dapat dilakukan setelah suspensi bahan atau biakan mikrobia
diencerkan beberapa kali dan ditumbuhkan dalam medium dengan cara tertentu,
tergantung macamnya bahan dan sifat mikrobianya (Sutedjo, dkk., 1991).
a.
Menggunakan
sentrifuge
Biakan
cair mikrobia di sentrifuge dengan sentriguge yang biasa digunakan untuk
menentukan jumlah butir-butir darah. Kecepatan dan waktu sentrifugasi harus
diperhatikan. Setelah diketahui volume mikrobia keseluruhan, maka dapat dipakai
untuk menentukan jumlah bakteri tiap cc, yaitu dengan membagi volume mikrobia
keseluruhan dengan volume rata-rata tiap sel mikrobia (Suriawiria, 1985).
b.
Berdasarkan
kekeruhan
Dasar
yang digunakan adalah bila sinar dilalukan pada suatu suspensi mikrobia maka
makin pekat suspensi tersebut, hingga makin besar intensitas sinar yang
diabsorbsi sehingga intensitas sinar yang diteruskan semakin kecil (Jutono, dkk.,
1980).
Alat
yang biasa digunakan pada perhitungan ini misalnya photoelectric, turbidimeter,
electrophotometer, spectrophotometer, nephelometer. Alat ini menggunakan sinar
monokromatik dengan panjang gelombang tertentu (Dwijoseputro, 1998).
c.
Menggunakan
perhitungan elektronik
Dapat
menentukan beribu-ribu sel tiap detik secara cepat dan tepat. Prinsip kerjanya
adalah dengan adanya gangguan-gangguan pada aliran ion yang bergerak diantara
dua elektroda. Penyumbatan semetara oleh sel mikrobia pada pori dekat yang
terdapat diantara kedua elektroda sehingga terputusnya aliran listrik. Jumlah
pemutusan tiap satuan waktu dihubungkan dengan kecepatan aliran cairan yang mengandung
mikrobia adalah ukuran jumlah mikrobia dalam cairan tersebut (Jutono, dkk.,
1980).
d.
Berdasarkan
analisis kimia
Dasarnya
adalah hasil analisa kimia sel-sel mikrobia. Makin banyak sel-sel mikrobia,
makin besar hasil analisis kimianya secara kuantitatif (Jutono, dkk., 1980).
e.
Menggunakan
cara pengenceran
Untuk
menentukan jumlah mikrobia yang hidup (Jutono, dkk., 1980).
f.
Menggunakan
cara Most Probable Number (MPN)
(Jutono, dkk., 1980).
g.
Berdasarkan
berat kering (Jutono, dkk., 1980).
h.
Berdasarkan
jumlah koloni (plate count). Syarat
yang harus dipenuhi:
1)
jumlah
koloni pada petridish antara 30-300 koloni. Jika tidak ada yang memenuhi syarat
dipilih yang mendekati 300
2)
tidak ada
koloni yang menutup lebih dari ½ luas petridish
3)
perbandingan
jumlah bakteri dari hasil pengenceran berturut-turut antara pengenceran yang
lebih besar dengan pengenceran sebelumnya. Jika sama atau lebih dari 2 yang
dipakai pengenceran sebelumnya
4)
jika
dengan ulangan setelah memenuhi syarat hasilnya dirata-rata (Jutono, dkk.,
1980)
Media berfungsi untuk
menumbuhkan mikroba, isolasi, memperbanyak jumlah, menguji sifat-sifat
fisiologi dan perhitungan jumlah mikroba, dimana dalam proses pembuatannya
harus disterilisasi dan menerapkan metode aseptis untuk menghindari kontaminasi
pada media (Uruwashii, 2008).
Bakteri
coliform digunakan sebagai
indikator sanitasi karena bakteri ini merupakan penghuni normal saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, berkemampuan untuk bertahan hidup
yang lebih besar dari patogen lain serta mudah diamati dan dideteksi. Coliform termasuk bakteri berbentuk
batang, gram negatif, tidak membentuk spora, aerob, dan anaerob fakultatif
serta dapat memfermentasi laktosa menjadi asam dan gas.
(Pelczar dan Chan, 1988)
Bakteri koliform dapat
dibedakan menjadi 2 grup yaitu : (1) koliform fekal misalnya Escherichia
coli dan (2) koliform nonfekal misalnya Enterobacter aerogenes. Escherichia
coli merupakan bakteri yang berasal dari kotoran hewan atau manusia, sedangkan
Enterobacter aerogenes biasanya ditemukan pada hewan atau tanam-tanaman yang
telah mati (Fardiaz, 1993 ).
Menurut Stainer (1967), ada beberapa penyakit yang
disebabkan oleh bakteri coliform yang
dipindahkan kebanyakan semata-mata oleh kontaminasi feses di air dan
bahan-bahan makanan. Perpindahan melalui air yang terkontaminasi sejauh ini
merupakan kebanyakan sumber penyakit atau infeksi. Jarang kemungkinannya untuk
mengisolasi pathogen enteric secara
langsung dari air yang terkontaminasi karena pathogen enteric biasanya berada dalam jumlah kecil. Jika tidak kontaminasi
dari individu yang terinfeksi yang recent dan massive. Bakteri yang secara
prinsipal disediakan untuk indikasi seperti kontaminasi dan fecal streptocooci
dan Escherichia coli.
Sifat-sifat bakteri Coliform
yang penting diketahui adalah sebagai berikut:
1. Mampu tumbuh baik pada beberapa jenis
substrat
2. Memiliki sifat dapat mensintesis vitamin
3. Interval suhu pertumbuhan antara 100ºC – 460
ºC
4. Mampu menghasilkan asam dan gas
(Fardiaz, 1989)
Menurut Dwijoseputro (1998) Pengujian tercemarnya makanan karena Coliform atau bakteri patogen lainnya dilakukan dengan cara bertahap yaitu:
a.
Uji pendugaan (presumptive)
Jika dalam
waktu 48 jam tabung-tabung durham mengandung gas, tes dinyatakan positif. Jika
sebaliknya berarti hasil tes adalah negatif dan air aman untuk diminum. Gas yang ada dimungkinkan ada
berasal dari sel-sel ragi/mikroorganisme lain (gram+). Untuk memastikan
dilakukan uji kepastian.
b.
Uji kepastian (confirmed)
Cara
melakukan seperti uji pendugaan hanya saja ditambahkan hijau berlian untuk
menghambat pertumbuhan gram positif dan menggiatan bakteri golongan koloni.
c.
Uji kesempurnaan (completed)
Menggunakan laktosa cair dan agar miring. Jika dalam cairan laktosa
muncul gas dan pada agar miring ditemukan hasil gram negatif berspora maka
dipastikan adanya golongan bakteri kolon dalam sampel semula.
Menurut Uruwashii (2008), media Eosin Methylene Blue mempunyai keistimewaan mengandung laktosa dan
berfungsi untuk memilah mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti Coliform, S. aureus, dan
P. aerugenosa. Mikroba yang memfermentasi laktosa menghasilkan koloni
dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan mikroba lain yang
dapat tumbuh koloninya tidak berwarna. Adanya eosin dan metilen blue membantu mempertajam
perbedaan tersebut.
Media Eosin Methylene Blue ini sangat baik untuk
mengkonfirmasi bahwa kontaminan tersebut adalah E.coli. Agar EMB (levine)
merupakan media padat yang dapat digunakan untuk menentukan jenis bakteri coli
dengan memberikan hasil positif dalam tabung. EMB yang menggunakan eosin dan
metilin blue sebagai indikator memberikan perbedaan yang nyata antara koloni
yang meragikan laktosa dan yang tidak. Medium tersebut mengandung sukrosa
karena kemampuan
bakteri coli
yang lebih cepat meragikan sukrosa daripada laktosa. Untuk mengetahui jumlah
bakteri coli umumnya digunakan tabel Hopkins yang lebih dikenal dengan nama MPN
(Most Probable Number) atau tabel JPT
(Jumlah Perkiraan Terdekat), tabel tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan
jumlah bakteri coli dalam 100 ml dan 0,1 ml sampel (Uruwashii, 2008). Salmonella adalah bakteri Gram negatif berbentuk batang
bukan pembentuk spora yang terdiri dari sekitar 2500 serotipe yang kesemuanya
diketahui bersifat patogen baik pada manusia atau hewan. Bakteri ini bukan
indikator sanitasi , melainkan bakteri
indikator keamanan pangan . Artinya, karena semua serotipe Salmonella
yang diketahui di dunia ini bersifat patogen maka adanya bakteri ini dalam
air atau makanan dianggap membahayakan kesehatan (Dewanti, 2000). Pengujian
Salmonella juga memerlukan tahapan yang cukup panjang dan hanya dengan
pengujian lengkap maka seseorang bisa menyimpulkan keberadaan Salmonella .
Uji Salmonella umumnya didahului dengan tahap pre-enrichment pada
medium kaya untuk meyembuhkan sel Salmonella yang luka ( injured )
, selective-enrichment (pengkayaan selektif) pada media selektif untuk
menghalau bakteri-bakteri non Salmonella , tahap isolasi pada beberapa
media selektif dan tahap identifikasi berdasarkan reaksi-reaksi biokimia pada
media identifikasi dan konfirmasi serologi atau biokimiawi yang menetapkan
apakah bakteri tersebut benar-benar Salmonella atau bukan (Dewanti,
2000).
Media yang spesifik untuk Salmonella mengandung komponen-komponen seperti pepton atau protein
hidrosilat, ekstrak daging sapi atau ekstrak khamir, dan garam yang ditambahkan
dengan tujuan untuk mempertahankan daya isotoniknya maupun sebagai buffer. Salmonella biasanya terdapat dalam
jumlah kecil di dalam makanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan tahap preenrichment, dan enrichmet menggunakan Lactose Broth, Selenite Cystine Broth atau
Tetrathionate Broth. Media enrichment
juga dapat digunakan untuk menghitung MPN Salmonella. Akan tetapi, karena
pertumbuhannya di dalam media cair tidak dapat dibedakan dari bakteri-bakteri
lainnya, perlu untuk menggoreskan setiap tabung MPN yang positif pada media
selektif, yaitu Brilliant Green (BG) agar, Bismuth Sulfit (BS) agar, atau Salmonella shigella (SS) agar. Pada agar
SS koloni Salmonella mungkin tidak berwarna atau berwarna coklat muda, merah
muda, atau kekuningan dan transparan, mungkin tengahnya berwarna hitam (Supardi
dan Sukamto, 1999).
Lactose
broth digunakan sebagai media untuk mendeteksi kehadiran coliform dalam air, makanan, dan produk susu, atau sebagai kaldu
pemerkaya (pre-enrichment broth)
untuk Salmonella dan dalam
mempelajari fermentasi laktosa oleh bakteri pada umumnya. Pepton dan ekstrak
beef menyediakan nutrien esensial untuk memetabolisme bakteri. Laktosa
menyediakan sumber karbohidrat yang dapat difermentasi untuk organisme coliform. Pertumbuhan dengan pembentukan
gas adalah presumptive test untuk coliform. Lactose broth dibuat dengan komposisi 0,3%
ekstrak beef; 0,5% pepton; dan 0,5% laktosa (Uruwashii, 2008).
Di dalam Standar Nasional Indonesia (SNI ) Susu
Segar nomor 01-3141 1998 dijelaskan bahwa Susu Segar adalah susu murni yang
tidak mendapatkan perlakuan apa pun kecuali proses pendinginan dan tanpa mempengaruhi
kemurniannya. Agar aman dikonsumsi dan digunakan untuk proses pengolahan
selanjutnya maka susu segar harus memenuhi syarat-syarat tertentu (BSN, 1998).
Alasan susu disukai mikroba antara lain :
1. pH susu mendekati normal sekitar 6, 6-6, 8.
2. Susu mengandung gizi yang sangat baik untuk
pertumbuhan makhuk hidup termasuk mikroba.
3. Kadar air yang tinggi sekitar 85%.
Jumlah bakteri dalam susu dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor baik yang berasal dari hewannya sendiri (faktor intrinsik)
maupun yang berasal dari luar tubuhnya (faktor ekstrinsik) (Grahatika, 2009).
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), susu dapat
terkontaminasi oleh
bakteri-bakteri patogen melalui beberapa cara sebagai berikut:
1. Susu yang berasal dari sapi perah yang
menderita infeksi. Misalnya infeksi oleh bakteri Brucella, Mycobacterium, dan Coxiella
burnetii.
2. Sapi perah terkontaminasi secara langsung dari
manusia, yang sebenarnya berasal dari orang yang terkena infeksi. Kebanyakkan
infeksi berasal dari pekerja-pekerja susu yang sakit. Misalnya kontaminasi oleh
Streptococcus, Staphylococcus,
Pseudomonas, dan Corynebacterium.
3.
Susu
terkontaminasi oleh bakteri patogen yang tidak berasal dari sapinya, yaitu setelah
proses pemerahan. Misalnya Salmonella
typhi, Corynebacter diptheriae dan Streptococcus
pyogenes. Staphylococcus aureus
juga dapat memasuki susu dari sapi yang menderita mastitis yang merupakan
infeksi pada ambing dan dapat menyebabkan kerusakan makanan melalui susu yang
terkontaminasi.
Alpukat
memilki kadar lemak tinggi diantara semua jenis buah-buahan. Namun, total
kalorinya tidaklah tinggi karena kandungan karbohidratnya terbatas. Lemak
alpukat termasuk lemak tak jenuh tunggal, sehingga tidak akan menyebabkan
naiknya berat badan. Alpukat juga mengandung betakaroten, klorofil, vitamin E, dan vitamin
B-kompleks yang berlimpah dalam alpukat. Buah alpukat mengandung vitamin E
sebesar 3,4 mg/100 gr. Lemak jenuh buah alpukat tergolong rendah dibandingkan
dengan lemak tidak jenuh yang terkandung didalamnya, karena mempunyai perbandingan
22% dan 78%. Karena kaya akan gizi maka buah alpukat menjadi salah satu buah
yang sering dibuat menjadi jus buah (Desrosier, 2008). Syarat mutu sari buah tercantum pada Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia (Nomor Hk.00.06.1.52.4011)
(BPOM, 2009).
BAB III
METODE
METODE
A. ALAT:
1.
Petridish
2.
Gelas
beker
3.
Pipet ukur
4.
Mikropipet
5.
Rak tip
6.
Trigalski
7.
Tip
8.
Pro pipet
9.
Laminair
flow
10. Kertas payung
11. Karet gelang
12. Tabung reaksi
13. Rak tabung reaksi
14. Gelas ukur
15. Erlenmeyer
16. Tabung durham
17. Vortex
18. Tisu
19. Inkubator
20. Korek api
21. Kertas label
22. Bunsen Ose
23. Kapas
B. BAHAN:
1. Susu kedelai
2. Jus Alvokad
3. Alkohol
4. Aquades steril
5. Medium PCA (Plate
Count Agar)
6. Medium BGLB (Brilliant Green Lactose Bile)
7. Medium EMBA (Eosin Methylen Blue Agar)
8. Medium LB (Lactose
Broth)
9. Medium SCB (Selenite
Cystine Broth)
10. Medium SSA (Salmonella
Shigella Agar)
C. CARA
KERJA:
1.
Pengenceran sampel
Sampel
berupa susu kedelai dan jus alpukat diencerkan menjadi 10-1, 10-2,
10-3, 10-4 dan 10-5. Sampel susu kedelai dan sampel jus alpukat divortex agar homogen, kemudian masing-masing sampel diambil sebanyak
10 ml dan dimasukkan ke dalam aquadest steril sebanyak 90 ml (pengenceran 10-1).
Sampel susu kedelai dan jus alpukat yang telah diencerkan dihomogenkan (divortex) kemudian
diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam aquadest steril sebanyak 9 ml
(pengenceran 10-2). Sampel susu kedelai dan jus alpukat hasil pengenceran 10-2
dihomogenkan kemudian diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam aquadest
steril sebanyak 9 ml (pengenceran 10-3). Sampel susu kedelai dan jus alpukat yang telah
diencerkan 10-3 divortex kemudian diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan
ke dalam aquadest steril sebanyak 9 ml (pengenceran 10-4). Sampel susu kedelai dan jus alpukat yang telah diencerkan 10-4 dihomogenkan kemudian diambil
sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam aquadest steril sebanyak 9 ml
(pengenceran 10-5).
2.
Uji APC (Aerobic
Plate Count)
Sampel berupa susu kedelai dan jus alpukat yang telah diencerkan menjadi
10-1, 10-2,
10-3, 10-4 dan 10-5 kemudian dihomogenkan. Setiap hasil pengenceran diambil
0,1 ml dan di-plating ke medium PCA (Plate Count Agar)
didalam petridish
dengan metode spread plate (dengan trigalski kemudian
diratakan membentuk angka delapan).
Kemudian, sampel diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C. Lalu jumlah koloni yang
tumbuh dihitung dengan rumus:
Keterangan
:
N =
jumlah koloni setiap ml atau setiap gram contoh
∑C =
total koloni dari seluruh cawan yang dihitung
n1 =
jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2 =
jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung
d =
pengenceran pertama yang dihitung
3.
Uji Coliform
Sampel yang digunakan dalam uji coliform adalah susu
kedelai dan jus alpukat yang telah
diencerkan menjadi 100,10-1, dan 10-2.
Setiap sampel diambil sebanyak 1 ml dan diinokulasikan ke
dalam tabung reaksi yang berisi medium BGLB (Brilliant Green Lactose Bile). Lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC.
Setelah 24 jam Koloni yang tumbuh diamati. Hasil positif
ditunjukkan apabila warna medium
menjadi keruh dan terdapat gelembung gas pada tabung durham, kemudian untuk menentukan banyaknya Coliform pada sampel dilakukan dengan melihat tabel MPN (Most Probable Number). Langkah
selanjutnya sampel susu kedelai dan jus alpukat pada medium BGLB yang positif diambil
sebanyak 1 ose dan diinokulasi ke medium EMBA (Eosin Methylen Blue Agar) dengan metode streak plate. Inokulan tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni yang tumbuh
diamati dan hasil positifnya terbentuk koloni berwarna hijau metalik. Lalu hasil koloni
positif yang memungkinkan di uji imvic.
Uji imvic dilakukan dengan inokulasi koloni hijau metalik kedalam medium cair
berupa tryptophan, medium cair metil red, medium cair voges proskear dan medium
agar sitrat (metode streak plate). Kemudian diikubasi selama 24 jam. Setelah
diinkubasi pada medium tryptophan ditetesi reagen ehrlich sebanyak 3 tetes jika
positif akan terbentuk cincin indol warna merah muda. Selanjutnya pada medium
metil red ditetesi larutan metil red sebanyak 3 tetes, hasil positif terjadi
perubahan warna menjadi merah muda. Kemudian pada medium voges proskear (vp)
ditetesi dengan alfanaptol dan KOH, hasil positif berwarna merah. Pada medium
agar citrat hasil positif jika medium yang semula hijau berubah menjadi biru.
Kemudian dilakukan identifikasi bakteri.
4.
Uji Salmonella
Sampel berupa susu kedelai dan jus alpukat diambil
masing-masing sebanyak 1 ml dan dimasukkan pada medium Lactose Broth sebanyak 10 ml. Sampel tersebut
dihomogenisasi dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kemudian setelah inkubasi inokulan diambil sebanyak 1 ml dan diinokulasikan ke medium SCB (Selenite Cystine Broth) dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 12-16 jam. Setelah itu inokulan pada medium SCB diambil sebanyak 1 ose
dan diplating pada medium SSA (Salmonella
Shigella Agar) dengan metode streak
plate kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Koloni
yang terbentuk diamati dengan hasil positif adalah terdapat koloni transparan
dengan bintik hitam dibagian tengah.
BAB IV
HASIL dan PEMBAHASAN
A.
HASIL
Tabel Hasil 1. Hasil Uji APC
Sampel
|
Jumlah Mikrobia (CFU)
|
N (CFU/ml)
|
||||
10-1
|
10-2
|
10-3
|
10-4
|
10-5
|
||
Susu kedelai
|
Spreader
|
Spreader
|
Spreader
|
31
|
Spreader
|
31x10-4
|
Jus Alpukat
|
Spreader
|
Spreader
|
Spreader
|
18
|
Spreader
|
258x10-4
|
Tabel Hasil 2. Hasil Uji Pendugaan Coliform
Sampel
|
Pengenceran
|
MPN
|
|||
100
|
10-1
|
10-2
|
Nilai konfigurasi
|
||
Susu kedelai
|
3
|
3
|
2
|
11,00
|
110
|
Jus Alpukat
|
3
|
3
|
2
|
11,00
|
110
|
Tabel Hasil 3. Hasil
Uji Penetapan Coliform
Sampel
|
Pengenceran
|
MPN
|
|||
100
|
10-1
|
10-2
|
Nilai konfigurasi
|
||
Susu kedelai
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Jus Alpukat
|
1
|
0
|
2
|
0,11
|
1,1
|
Tabel Hasil 4. Hasil Uji IMVIC
Sampel
|
IMVIC
|
Identifikasi bakteri
|
|||
Indol
|
MR
|
VP
|
Sitrat
|
||
Susu kedelai
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Coliform
|
Jus Alpukat
|
-
(kuning) |
+
(merah) |
-
(orange) |
-
(hijau) |
E. coli
|
B. PEMBAHASAN
Susu segar dan jus buah merupakan salah satu minuman yang
mudah ditemukan saat ini. Banyak pedagang susu segar dan jus buah menjual
minuman ini di pinggir – pinggir jalan raya. Selain mudah dijumpai harganya pun
terjangkau. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya penjual jus buah dan susu
segar. Akan tetapi perlu diperhatikan kondisi lingkungan tempat penjualan yaitu
dipinggir jalan jelas mempengaruhi kualitas susu segar maupun jus buah yang
dijajakan. Kontaminasi akibat polusi kendaraan, penggunaan alat yang tidak
dicuci dengan bersih, penyimpanan buah yang tidak sesuai, sangat berpengaruh
pada kualitas mikrobiologisnya. Sehingga tentunya kita perlu memperhatikan hal
– hal tersebut.
Pada praktikum enumerasi mikrobia pada makanan ini digunakan
sampel berupa susu (susu kedelai) dan jus buah (jus alpukat). Susu merupakan
media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana
potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar kapan dan dimana
saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan kebersihan. Pencemaran pada
susu terjadi sejak proses pemerahan, dapat berasal dari berbagai sumber seperti
Wit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan dan udara (Rombaut, 2005).
1.
Uji APC
Pada praktikum ini sampel bahan pangan yang
digunakan adalah susu segar dan jus alpukat. Enumerasi mikrobia pada bahan pangan tersebut
dilakukan dengan uji APC (Aerobic Plate
Count), Coliform, dan Salmonella pada setiap sampel. Pengujian dimulai dengan pengenceran terlebih dahulu yaitu dengan penambahan aquades hingga didapat
faktor pengenceran 10-1, 10-2, 10-3, 10-4,
dan 10-5.
Pengenceran terhadap suspensi bakteri dilakukan
karena jumlah bakteri yang tumbuh di dalam medium tergantung dengan pengenceran
yang dilakukan. Apabila pengenceran yang dilakukan kecil mengakibatkan
pertumbuhan bakteri tidak teratur karena kepadatan biomassa bakteri yang tidak
seimbang dengan nutrisi dalam medium. Keadaan demikian menyebabkan kesulitan
dalam mengamati pertumbuhan jumlah mikrobia (Suriawiria, 1985). Sehingga dari pengenceran tersebut akan diperoleh koloni yang terpisah
dan mudah untuk diamati.
Bila pengenceran yang dilakukan dalam tahap
sedang maka bakteri akan tumbuh secara teratur karena jumlah bakteri dan medium
seimbang dan tidak padat. Jika pengenceran tinggi maka bakteri tidak tumbuh
pada medium karena bakteri yang hidup sangat sedikit atau justru tidak ada.
Jadi, pengenceran berfungsi untuk mengatur pertumbuhan bakteri, mendapatkan
bakteri dalam keadaan seimbang dengan medium (nutrisi medium) dan motilitas
bakteri yang menyebar sehingga diperoleh kemudahan dalam melakukan penghitungan
jumlah bakteri tersebut (Suriawiria,
1985 ).
Uji Aerobic Plate Count (APC) merupakan uji mikrobiologi
untuk mengetahui total jumlah sel hidup atau coloni
forming unit (CFU) yang ada pada makanan khususnya mikrobia mesofilik
aerob. Prinsip kerja dari uji ini adalah sampel susu kedelai dan jus alpukat yang telah dihomogenkan
(divortex) diencerkan dengan
larutan pengencer sampai faktor pengenceran tertentu (10-1
sampai 10-5). Setiap
pengenceran diambil 0,1 ml dan dilakukan plating
ke medium PCA (Plate Count Agar)
dengan metode spread plate, kemudian
diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C dan selanjutnya dilakukan penghitungan
koloni yang tumbuh dengan rumus. Medium
PCA (Plate Count Agar) adalah medium yang
berfungsi untuk menumbuhkan seluruh mikrobia yang hidup pada sampel. Nutrisi
pada medium cukup lengkap untuk menumbuhkan banyak jenis mikrobia.
Berdasarkan percobaan
yang dilakukan didapati jumlah mikrobia hasil uji APC pada susu kedelai dengan faktor
pengenceran 10-1, 10-2, 10-3 dan 10-5
adalah spreader, sedangkan pada pengenceran 10-4 didapati
jumlah mikrobianya 31 koloni. Dari hasil perhitungan jumlah koloni bakteri hidupnya pada susu kedelai
didapati 31x104 CFU/ml. Berdasarkan Syarat Mutu
Susu Segar (SNI 01-3141-1998), total mikrobia yang memenuhi syarat untuk susu
segar adalah 106 CFU/ml, sedangkan pada susu kedelai yang diuji ditemui 31x104 CFU/ml. Hal ini menunjukkan
bahwa susu kedelai tersebut layak untuk dikonsumsi karena total mikrobianya lebih sedikit dari syarat
mutu susu yang ditetapkan.
Gambar 1. Uji APC pada sampel susu kedelai
Pada sampel jus alpukat hasil uji APC
dengan faktor pengenceran 10-1, 10-2, 10-3,
dan 10-5 adalah spreader sedangkan pada
pengenceran 10-4 adalah tumbuh mikrobia 18 koloni. Dari hasil perhitungan jumlah koloni bakteri
hidupnya didapati 18x10-4 CFU/ml. Dari hasil
tersebut menunjukkan jus alpukat tersebut tidak layak dikonsumsi karena total
mikrobianya melebihi syarat mutu sari buah. Berdasarkan persyaratan umum cemaran mikrobia pada makanan secara umum
(BPOM, 2009), untuk sari buah diketahui total mikrobia yang memenuhi syarat untuk
jus adalah 104 CFU/ml
Berdasarkan hasil yang
didapat dapat dibandingkan mutu dari susu kedelai lebih baik dibandingkan jus alpukat
jika dilihat dari segi total
mikrobia yang dikandungnya. Hal ini dipengaruhi oleh cara pengolahan bahan
pangan tersebut yang tidak sesuai, penggunaan peralatan yang kurang bersih, dan
bahan bakunya sendiri yang tercemar oleh mikrobia pada sumbernya dan cara penyimpanan.
2.
Uji Coliform
Uji
Coliform merupakan uji mikrobiologi
untuk mendeteksi Coliform pada bahan
pangan. Uji coliform dilakukan dalam praktikum kali ini dilakukan dalam 3
tahapan yaitu uji pendugaan, penetapan dan imvic. Pada uji pendugaan Coliform adalah sampel (susu kedelai dan jus alpukat) dihomogenkan kemudian diencerkan menjadi 100, 10-1, 10-2 masing- masing
sebanyak 3 tabung reaksi yang diberi tabung durham dan diinokulasikan ke dalam medium BGLB (Brilliant Green Lactose Bile). Sampel
tersebut kemudian diinkubasi dan diamati. Hasil positif dari uji ini ditunjukkan dengan adanya gelembung gas dan
perubahan warna medium menjadi keruh. Dari percobaan ini
hasil positif pada sampel susu kedelai dan jus alpukat masing – masing
ditunjukkan oleh 3 tabung 100, 3 tabung 10-1, dan 2
tabung 10-2. Sehingga diperoleh nilai konfigurasinya kedua sampel 11
dan nilai MPN 110. Sehingga susu kedelai dan jus alpukat ini tidak layak
dikonsumsi karena total coliformnya lebih dari SNI yaitu 20 CFU/ml. Gelembung pada tabung durham terjadi karena coliform mampu memfermentasi laktosa dan
menghasilkan gas dan asam. Tabung durham sendiri berfungsi untuk mengetahui terbentuknya gas gelembung atau untuk menangkap gas
yang ditimbulkan akibat adanya fermentasi laktosa menjadi asam dan gas.
Sampel
yang menunjukkan hasil positif pada uji pendugaan kemudian diinokulasikan pada medium EMBA (Eosin Methylen Blue Agar). Uji ini berfungsi untuk melihat terbentuknya koloni hijau metalik.
Koloni hijau metalik tersebut adalah koloni mikrobia yang mampu memfermentasi
laktosa yang juga membentuk
asetaldehid dan juga bereaksi dengan sulfit dari medium seperti Coliform, S. aureus, dan
P. aerugenosa. Sedangkan mikroba lain yang dapat tumbuh koloninya tidak
berwarna. Adanya eosin dan metilen blue membantu mempertajam perbedaan tersebut. Hasil positif uji
penetapan pada susu kedelai pada pengenceran 100, 10-1,
10-2 adalah 0 atau tidak ada yang positif sehingga diperoleh nilai
konfigurasi dan MPN adalah 0. Sedangkan pada sampel jus alpukat hasil positif
ditunjukkan pada pengenceran 100 sebanyak 1 dan 10-2
sebanyak 2 dan pada pengenceran 10-1 tidak menunjukkan hasil positif
sehingga diperoleh nilai konfigurasi 0,11 dan MPN 11.
Gambar 3. Uji penetapan coliform
pada sampel susu kedelai
Uji
selanjutnya adalah uji IMVIC dari hasil positif setelah uji penetapan. Pada uji
IMVIC ini dilakukan inokulasi dari koloni hijau metalik kedalam medium cair
berupa tryptophan, medium cair metil red, medium cair voges proskear dan medium
agar sitrat (metode streak plate). Kemudian diikubasi selama 24 jam. Setelah
diinkubasi pada medium tryptophan ditetesi reagen ehrlich sebanyak 3 tetes jika
positif akan terbentuk cincin indol warna merah muda. Selanjutnya pada medium
metil red ditetesi larutan metil red sebanyak 3 tetes, hasil positif terjadi
perubahan warna menjadi merah muda. Kemudian pada medium voges proskear (vp)
ditetesi dengan alfanaptol dan KOH, hasil positif berwarna merah. Pada medium
agar citrat hasil positif jika medium yang semula hijau berubah menjadi biru. Jika
dari uji ini hasil positif pada indol dan metil red atau positif salah satunya
maka identifikasi bakterinya adalah E.
coli. Sedangkan jika positif pada voges proskear dan sitrar maka
identifikasi bakterinya adalah aerogenes.
Karena hasil dari uji penetapan pada sampel susu kedelai negatif maka pada
sampel susu kedelai tidak dilakukan uji IMVIC dan identifikasi bakteri yang
diduga pada susu kedelai adalah coliform.
Sedangkan pada sampel jus alpukat hasil positif dari uji IMVIC yang
dilakukan hanya pada medium metil red
yang ditetesi metil red sehingga warnanya berubah menjadi merah. Sedangkan pada
medium tryptophan setelah ditetesi erhlich berwarna kuning sehingga hasilnya
negatif. Pada medium voges proskear hasilnya negatif karena berubah menjadi
warna orange setelah ditambah alfanaptol dan KOH, hasil negatif juga tampak
pada medium sitrat yang tetap berwarna hijau. Sehingga identifikasi bakteri
pada sampel jus alpukat adalah E. coli.
Dari
hasil uji IMVIC ini mengindikasikan
adanya potensi bahaya mikrobiologis yang besar yang dapat menyebabkan penyakit karena terbukti keduanya mengandung bakteri. Meskipun sebagian besar bakteri coliform tidak bersifat patogen, namun
adanya bakteri coliform yang terdapat
dalam makanan mengindikasikan adanya bakteri enteropatogenik yang dapat menyebabkan
penyakit. Demikian pula E.coli bersifat patogen karena E.
coli termasuk golongan coliform.
Uji
tambahan yang dilakukan dalam uji coliform
adalah uji menggunakan petrifilm. Petrifilm Plates adalah produk siap pakai yang dapat mempersingkat proses
pengujian. Biasanya penggunaan petrifilm digunakan oleh perusahaan- perusahaan.
Karena dengan petrifilm pengujian menjadi lebih praktis, cepat dan efisien. Petrifilm Coliform Count Plates dapat menunjukan tingkat mikrobial pada bahan
mentah, dalam proses produksi, produk jadi, lingkungan pabrik dan peralatan.
Medium dalam Petrifilm spesifik untuk setiap mikrobia/ bakteri yang akan diuji.
Untuk pengujian coliform hasil positif ditunjukan dengan adanya koloni bewarna
merah dengan gelembung gas.
Gambar 4. Uji coliform menggunakan petrifilm
pada sampel susu kedelai
3.
Uji Salmonella
Uji Salmonella merupakan uji mikrobiologi
yang dilakukan untuk mengetahui adanya Salmonella
pada bahan pangan. Prinsip dari uji ini adalah dengan melakukan beberapa tahapan, yaitu
pengkayaan, seleksi dengan media spesifik dan identifikasi. Pada tahap
pre-enrichment, digunakan medium Lactose Broth. Selanjutnya pada tahap pengkayaan (enrichment) digunakan Selenite Cystine Broth (SCB) sebagai
medium untuk mengisolasi Salmonella. Kemudian dilakukan tahap seleksi dengan
media selektif menggunakan medium SSA (Salmonella
Shigella Agar).
Hasil positif
diketahui dengan adanya koloni berwarna transparan dengan bintik hitam di
bagian tengah. Dari beberapa tahapan yang telah dilakukan, diketahui pada
sampel susu kedelai dan jus alpukat tidak ditemukan adanya
koloni transparan dengan bintik hitam ditengah sehingga hasil uji Salmonella adalah negatif. Pada susu
kedelai koloni bakteri yang muncul adalah putih keruh. Sehingga hal ini sesuai
dengan syarat mutu susu segar (SNI 01-3141-1998) dan persyaratan mutu sari buah
(BPOM, 2009) yaitu jumlah Salmonella pada susu
segar dan jus jambu biji harus negatif.
Alasan susu disukai mikroba antara lain :
1) pH susu mendekati normal sekitar 6, 6-6, 8.
2) Susu mengandung gizi yang sangat baik untuk pertumbuhan makhuk hidup termasuk
mikroba.
3) Kadar air yang tinggi sekitar 85%.
Menurut Supardi dan Sukamto (1999), susu dapat terkontaminasi oleh
bakteri-bakteri patogen melalui beberapa cara sebagai berikut:
1) Susu yang berasal dari sapi perah yang menderita infeksi.
Misalnya infeksi oleh bakteri Brucella, Mycobacterium, dan Coxiella
burnetii.
2) Sapi perah terkontaminasi secara langsung dari manusia, yang sebenarnya
berasal dari orang yang terkena infeksi. Kebanyakkan infeksi berasal dari
pekerja-pekerja susu yang sakit. Misalnya kontaminasi oleh Streptococcus,
Staphylococcus, Pseudomonas, dan Corynebacterium.
3) Susu terkontaminasi oleh bakteri patogen yang tidak berasal dari
sapinya, yaitu setelah proses pemerahan. Misalnya Salmonella typhi, Corynebacter
diptheriae dan Streptococcus pyogenes.
Menurut Buckle,
dkk. (2010) secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba
dalam bahan pangan dapat bersifat fisik, kimia atau biologis. Faktor-faktor
tersebut meliputi :
a. Faktor Intrinsik
1. Kandungan Nutrisi
Fungsi utama nutrisi adalah sebagai
sumber energi, bahan pembentuk sel dan
aseptor elektron di dalam aksi yang menghasilkan energi. Nutrisi yang
diperlukan mikroba meliputi air, sumber C, sumber N, sumber septor elektron, sumber mineral dan
faktor tumbuh.
2. Aktivitas Air (aw)
Pertumbuhan dan metabolisme mikroba
memerlukan air dalam bentuk yang tersedia. Sebagian besar mikroba (terutama
bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai aw 0,9-0,97.
3. Nilai pH.
Mikroba tumbuh
pada tingkat pH yang berbeda. Sebagian besar bakteri tumbuh pada pH mendekati
netral ( pH 6,5–7,5 ). Pada pH di bawah 5,0 dan di atas 8,0 bakteri tidak dapat
tumbuh dengan baik, kecuali bakteri asam asetat yang mampu tumbuh pada pH rendah
dan bakteri Vibrio sp yang dapat
tumbuh pada pH tinggi.
4. Senyawa Antimikroba
Beberapa bahan pangan mempunyai
senyawa antimikroba alamiah yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, misalnya
laktinin, anticoliform dan laktoperoksidase yang terdapat dalam susu.
5. Potensial Reduksi Oksidiasi
Potensial reduksi oksidasi
menunjukkan kemampuan substrat untuk melepaskan elektron (oksidasi) atau
menerima elektron (reduksi). Mikroba memerlukan potensial redoks positif
(teroksidasi), sedangkan pada mikroba anaerob memerlukan potensial redoks
negatif (tereduksi).
6. Struktur Biologi
Struktur biologi seperti kulit dan
kulit pada telur, kulit kacang-kacangan dan kulit buah berperan mencegah
masuknya mikroba ke dalam bahan pangan tersebut.
b. Faktor Ekstrinsik.
1. Suhu
Suhu berpengaruh
pada lamanya fase lag, konsentrasi
sel kecepatan pertumbuhan, kebutuhan nutrisi, kegiatan enzimatis dan komposisi
sel. Berdasarkan pada kisaran suhu pertumbuhannya, mikroba dapat dikelompokkan
menjadi 4 (empat), yaitu thermofil, mesofil, psikhrofil dan psikhrotrof.
2. Kelembaban udara relatif
Kelembaban udara relatif berkaitan dengan aktivitas
air (aw). Pangan dengan nilai aw rendah jika ditempatkan di lingkungan
yang kelembaban udaranya relatif tinggi akan mudah menyerap air. Banyaknya air yang terserap akan meningkatkan nilai aw menyebabkan pangan mudah
dirusak bakteri. Sebaliknya, pangan dengan nilai aw tinggi jika ditempatkan pada lingkungan yang kelembaban udaranya relatif rendah akan kehilangan air sehingga nilai aw–nya akan menurun dan berakibat pada menurunnya mutu pangan tersebut
karena terjadi pengerutan.
3. Susunan Gas di Atmosfir
Berdasarkan kebutuhan oksigen
sebagai aseptor elektron, mikroba dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan,
yaitu aerob dan anaerob. Mikroba aerob adalah mikroba yang menggunakan oksigen sebagai
sumber aseptor elektron terakhir dalam proses bioenerginya. Sebaliknya, mikroba
anaerob adalah mikroba yang tidak dapat menggunakan oksigen sebagai sumber
aseptor elektron dalam proses bioenerginya.
Menurut Mukti (2001) perlakuan secara fisik untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan menghindari kerusakan susu adalah dengan menaikkan dan
menurunkan temperatur susu. Dengan adanya pemanasan dan pendinginan tersebut
dapat mengurangi dan menghambat jumlah pertumbuhan bakteri. Bakteri yang biasa terdapat
dalam susu adalah Streptococcuc lactis, Aerobacter aerogenes dan Escherichia
coli, Lactobacillus casei dan Lactobacillus acidophilus (Jawetz
dkk., 2001), selain itu dalam susu juga sering terdapat Micrococcus,
Pseudomonas, Staphylococcus, dan Bacillus (Vollk dan
Wheeler, 1993).
BAB V
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil
percobaan diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil uji APC jumlah koloni bakteri hidupnya
untuk sampel susu kedelai didapati 31x104 CFU/ml dan jus alpukat 18 x104 CFU/ml; berdasarkan SNI susu kedelai
layak dikonsumsi (total mikrobia dibawah 106) sedangkan jus alpukat
tidak layak dikonsumsi (total mikrobia diatas 104).
2. Hasil uji BGLB dan penghitungan jumlah koloni
dengan menggunakan tabel MPN didapat bahwa sampel susu segar dan jus alpukat memiliki
total coliform sebanyak 110 MPN (CFU/ml), sampel susu kedelai dan jus alpukat ini tidak
layak dikonsumsi karena lebih dari 20 CFU/ml.
3. Hasil uji EMBA pada sampel susu kedelai negatif dan sampel
jus alpukat positif dengan total coliform 1,1 MPN.
4. Hasil uji IMVIC identifikasi bakteri dalam susu kedelai adalah coliform sedangkan pada jus alpukat
identifikasi bakterinya adalah E.coli.
5. Hasil uji Salmonella
diketahui hasil uji pada sampel susu kedelai dan jus
alpukat adalah negatif dengan koloni yang terbentuk berwarna putih keruh.
6. Kualitas mikrobiologis susu kedelai lebih baik dibandingkan jus alpukat ditinjau dari
hasil uji APC, Coliform dan Salmonella.
DAFTAR
PUSTAKA
BSN. 1998. SNI Susu Segar. http://www.disnak.jabarprov.go.id/data/arsip/Standar%20Susu%20Segar.pdf.
12 Maret 2012.
BPOM.
2009. Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Kimia Dalam Makanan.http://www.pom.go.id/public/hukum_perundangan/pdf/SK%20cemaran%20final-verbal%20sep09.pdf.
12 Maret 2012.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., dan Wootton, M., 2010. Ilmu Pangan. UI-Press. Jakarta.
Desrosier,
N.W. 2008. Teknologi Pengawetan Pangan.
Edisi ke-3. UI-Press. Jakarta.
Dewanti,
R. 2000. Salmonella dalam minuman dan makanan. http://web.ipb.ac.id.
13 Maret 2012.
Dwidjoseputro, D. 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Dgambatan.
Malang.
Grahatika, R., 2009. Identifikasi
dan Pemeriksaan Jumlah Total Bakteri pada Susu Sapi di Kabupaten Karanganyar. http://etd.eprints.ums.ac.id/6073/1/K100050035.pdf.
12
Maret 2012.
Fardiaz, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi
Pangan. IPB. Bogor.
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. PAU. IPB. Bogor
Jutono, Joedoro, Sri Hartadi, Siti, K.S., Suhadi, D., 1980. Pedoman Praktikum
Mikrobiologi Umum. UGM Press. Yogyakarta.
Pelczar, M.J. dan Chan, E.
S., 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Edisi 1. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Rombaut, R. 2005 . Dairy microbiology and starter cultures . Laboratory
of
Food Technology and
Engineering . Gent University. Belgium.
Stainer, R. Y., 1967. The Microbial World. Prentice Hall
Engle Wood Cliffs. New Jersey.
Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan
Pangan. Penerbit Alumni. Bandung.
Suriawiria, U. 1985. Dasar-dasar Mikrobiologi. Angkasa.
Bandung.
Sutedjo, N.M., Kartasapoetra, dan
Sastroatmadjo, 1991. Mikrobiologi Tanah, Rieka Cipta. Jakarta.
Uruwashi, L., 2008. Media Pertumbuhan Mikrobia. http://dunia-mikro.blogspot.com/2008/08/media-pertumbuhan-mikroorganisme.html.
13 Maret 2012.